Aku datang tidak dengan
lencana. Tidak tali komando. Tidak dengan seribu brevet dan wing yang biasa aku
bawa. Aku hanya diam terbungkam. Mengamati sudut sudut rumah yang menatapku
tajam, menanyakan darimana saja aku. Rumahku sekarang seakan memusuhiku,
menagih penjelasan yang selama ini kupendam dan tidak satu pun aku keluarkan
dari mulut kering ku. Seteguk air liur aku telan demi mengalihkan rasa takutku
akan semua akusisi hantu hantu yang menghuni pelosok ruangan kamarku.
Disini aku memulai
disini aku akan akhiri. Itu pikirku saat itu. Setidaknya semuanya berakhir
walapun tidak disini. Semua kecewa. Aku pun kecewa. Jiwaku memberontak, tapi
keadaan lah yang membekap suara yang dengan susah payah aku keluarkan, dan yang
tersisa hanya bisikan bisikan halus yang didengar semut pun tidak. Awan putih
yang menemani goresan pena pada kertas yang sama putihnya pada masa kejayaan lalu
hanya menggantung pada langit yang acuh dengan tatapan ku, seolah tak ikut
peduli dengan apa yang terjadi, tak mau menjadi sekutuku lagi rasanya. Aku seperti
orang yang disunat loyalitasnya, yang anehnya dijahit dengan benang kawat sehingga
memang bertujuan untuk memperparah perdarahan kegagalan.
Sudah cukup. Setidaknya
aku datang kan!?. Aku menepati janji walau secara parsial!. Dari semua tanda
kehormatan yang dulu aku bawa, sekarang hanya sfigmomanometer di tangan kiri,
stetoskop yang menggelantung di leher, dan tangan kanan yang siap mendengarkan
denyut kehidupan dalam pembuluh arteri. Mereka tidak melihat itu sebuah jabatan
dan simbol kepangkatan. Tidak juga aku. Bagaimana alat itu bisa menjadi simbol
yang membanggakan, akupun tidak mengelah kalau sabit malaikat kematian muncul
dan si empunya mengadu pada Tuan dan si Tuan memandatkan agar anak yang
memalukan ini dicabut jiwanya dari raganya. Tapi aku tidak sekalipun mengumpat
pada takdir. Karena aku lah yang membuatnya. Entah aku kawin dengan siapa,
sehingga anakku yang bernama takdir ini menjadi penerang jalan saat aku tua
nanti, yang jelas aku tidak akan membuangnya ke panti asuhan!.
Takdir itu kini ada dihadapanku. Aku yang
melatihnya dan aku pula yang menyekolahkannya. Bagaimana pun ia harus mendapat
gelar sarjana. Untuk apa, untuk kebanggan lagi?, aku rasa kini akulah yang
diberi tongkat komando ilahi dari Tuan untuk mengubah si takdir. Ia tidak lagi
mencari lencana dunia. Tidak tali komando dunia. Tidak dengan seribu brevet dan
wing yang berasal dari dunia. Ia mencarinya demi kemanusiaan. Karena itulah ia
harus menjadi yang terkecil diantara semua, agar yang terkecil itu akan menjadi
yang terbesar nantinya, yang terdahulu itu akan menjadi yang terdepan pada
saatnya.
Dan hakim di ruanganku
tidak perlu lagi mengadili daku yang telah berzinah dengan dosa yang mencabuli
kepercayaan, karena kini aku telah diberi grasi oleh Tuan sekali lagi untuk
berkarya dan meneruskan pekerjaannya yang mulia. Aku datang untuk kemanusiaan yang telah lama diperkosa.
Denpasar, 31 Desember 2016
Jeovan Fillandro