B

B

Jumat, 30 Desember 2016

Aku datang


Aku datang tidak dengan lencana. Tidak tali komando. Tidak dengan seribu brevet dan wing yang biasa aku bawa. Aku hanya diam terbungkam. Mengamati sudut sudut rumah yang menatapku tajam, menanyakan darimana saja aku. Rumahku sekarang seakan memusuhiku, menagih penjelasan yang selama ini kupendam dan tidak satu pun aku keluarkan dari mulut kering ku. Seteguk air liur aku telan demi mengalihkan rasa takutku akan semua akusisi hantu hantu yang menghuni pelosok ruangan kamarku.

Disini aku memulai disini aku akan akhiri. Itu pikirku saat itu. Setidaknya semuanya berakhir walapun tidak disini. Semua kecewa. Aku pun kecewa. Jiwaku memberontak, tapi keadaan lah yang membekap suara yang dengan susah payah aku keluarkan, dan yang tersisa hanya bisikan bisikan halus yang didengar semut pun tidak. Awan putih yang menemani goresan pena pada kertas yang sama putihnya pada masa kejayaan lalu hanya menggantung pada langit yang acuh dengan tatapan ku, seolah tak ikut peduli dengan apa yang terjadi, tak mau menjadi sekutuku lagi rasanya. Aku seperti orang yang disunat loyalitasnya, yang anehnya dijahit dengan benang kawat sehingga memang bertujuan untuk memperparah perdarahan kegagalan.

Sudah cukup. Setidaknya aku datang kan!?. Aku menepati janji walau secara parsial!. Dari semua tanda kehormatan yang dulu aku bawa, sekarang hanya sfigmomanometer di tangan kiri, stetoskop yang menggelantung di leher, dan tangan kanan yang siap mendengarkan denyut kehidupan dalam pembuluh arteri. Mereka tidak melihat itu sebuah jabatan dan simbol kepangkatan. Tidak juga aku. Bagaimana alat itu bisa menjadi simbol yang membanggakan, akupun tidak mengelah kalau sabit malaikat kematian muncul dan si empunya mengadu pada Tuan dan si Tuan memandatkan agar anak yang memalukan ini dicabut jiwanya dari raganya. Tapi aku tidak sekalipun mengumpat pada takdir. Karena aku lah yang membuatnya. Entah aku kawin dengan siapa, sehingga anakku yang bernama takdir ini menjadi penerang jalan saat aku tua nanti, yang jelas aku tidak akan membuangnya ke panti asuhan!.

Takdir itu kini ada dihadapanku. Aku yang melatihnya dan aku pula yang menyekolahkannya. Bagaimana pun ia harus mendapat gelar sarjana. Untuk apa, untuk kebanggan lagi?, aku rasa kini akulah yang diberi tongkat komando ilahi dari Tuan untuk mengubah si takdir. Ia tidak lagi mencari lencana dunia. Tidak tali komando dunia. Tidak dengan seribu brevet dan wing yang berasal dari dunia. Ia mencarinya demi kemanusiaan. Karena itulah ia harus menjadi yang terkecil diantara semua, agar yang terkecil itu akan menjadi yang terbesar nantinya, yang terdahulu itu akan menjadi yang terdepan pada saatnya.

Dan hakim di ruanganku tidak perlu lagi mengadili daku yang telah berzinah dengan dosa yang mencabuli kepercayaan, karena kini aku telah diberi grasi oleh Tuan sekali lagi untuk berkarya dan meneruskan pekerjaannya yang mulia. Aku datang untuk kemanusiaan yang telah lama diperkosa. 





Denpasar, 31 Desember 2016




Jeovan Fillandro





Tidak ada komentar:

Posting Komentar