Hari itu aku menemukan seekor burung. Ia datang
menghampiriku, terlihat lemas dan sayapnya patah. Ia tidak mampu untuk terbang
bahkan berjalan dengan kedua kaki mungilnya. Bulu yang putih berselimutkan debu
jalan membuatnya terlihat sangat kusam dan lusuh nyaris tak terawat. Sesekali lekukan
tulangnya nampak dibalik dagingnya yang kurus, memperlihatkan betapa rapuhnya
ia sekarang. Aku tak tahu makhluk apa yang barusan menyerangnya. Yang jelas ada
bekas luka tajam yang kini menyebabkannya tak bisa menggunakan sayapnya untuk
terbang.
Aku dekati burung itu dan ia tampak begitu pasrah. Ia hanya
menunggu ajalnya tiba, atau jika beruntung aku akan membawanya kerumah. Paling tidak
memberikan ia perlindungan dari predator lain yang ingin memangsanya. Tapi apa
untungnya bagiku? Toh burung ini tidak melakukan kebaikan pun kejahatan yang
berdampak bagi hidupku. Tapi atas dasar perasaan kasihan, kujamah burung itu
dan membawanya pulang kerumah. Kubersihkan luka yang ada di tubuhnya dan
kuperban luka itu. Kini ia lahap memakan nasi yang sengaja kusisakan untuknya
setelah makan malamku. Aku nyaris tak percaya aku berbagi makanan dengan
binatang, bahkan untuk memberi sedekah untuk bekal mengumpulkan pahala aku tak mampu,
dan bukan karena aku tak mau. Belas kasihan telah mengalahkan segalanya.
Satu bulan dan aku telah membagi setengah porsi makanku
untuknya. Tak heran kini malah gantian tulangku yang menyembul dari balik dagingku.
Burung itu kini semakin sehat. Dagingnya mulai kurasakan menebal. Ia bahkan
sudah mulai mondar mandir di rumah ku yang hanya sepetak. Walau belum bisa
terbang, aku senang ia mulai bertingkah dengan menjatuhkan benda benda diatas
meja dengan sayapnya yang ia latih sendiri. Setidaknya ada suara dalam rumahku
yang terbiasa mendengar kesunyian. Suasana rumah kini semakin semarak dengan
kehadiran burung itu. Kesepianku terusik dengan suara suara yang keluar dari
paruhnya. Ia mulai berani berkomunikasi denganku walau kami tidak menggunakan Bahasa
yang sama.
Sejak ia mulai bisa mengeluarkan suara, ia selalu
membangunkanku pagi pagi sekali. Tentu aku merasa terganggu karena bangun
sepagi itu bukanlah kebiasaanku. Namun hari demi hari aku mulai terbiasa bangun
pagi dan terbiasa mendengarkan burung itu berkokok di pagi hari. Sebuah anomali
yang tak bisa kujelaskan mengapa burung itu dapat menjelma menjadi ayam dan
alarm. Dipagi hari aku mulai mengatur segalanya untuk hari itu karena untuk
kembali tidur dan bermalas malasan rasanya mustahil. Burung itu telah
menghilangkan kemalasanku. Ketika sang malas menghilang, semua menjadi teratur,
pekerjaan selesai tepat waktu, upah cepat datang, dan porsi makanku menjadi
lebih banyak.
Suatu hari ditengah pasar yang sibuk. Aku berbelanja di
temani burung yang setia menemaniku. Ia kubawa tanpa kandang dan hanya
kutenggerkan di bahuku. Sejauh ini ia tidak terlihat bisa terbang. Namun sebenarnya
aku takut ketika ia sudah bisa menggunakan sayapnya, ia akan pergi
meninggalkanku. tapi itu tidak ia lakukan walau aku tahu sayapnya kini sudah
sembuh dan bisa dikepakkan. Sesekali ia mengepakkan sayapnya itu untuk
menyeimbangkan tubuh, dan itu membuat takjub semua orang dipasar. Seseorang memberitahuku
bahwa burung ini adalah burung langka, jumlahnya hanya sedikit dan mempunyai
nilai jual yang tinggi. Mereka heran bagaimana seseorang seperti aku bisa mendapatkan burung langka ini dan bahkan ada yang menawar
dengan harga yang setidaknya mampu membeli sepuluh kali harga sepetak tanahku. Aku
terkejut, namun demi apapun burung yang sudah memecah kesunyian hidupku ini
tidak akan kujual untuk berapapun harga yang ditawarkan.
Suatu ketika saat aku pulang bekerja, aku sengaja tidak
membuat suara untuk mengetahui apa yang diperbuat burung itu selagi aku tidak
ada dirumah. Ia tampak terkejut melihatku mendapati dirinya terbang. Tentu aku senang. Tidak sia
sia perawatan yang kuberikan. Namun perasaan itu muncul lagi, sebagaimana
kesunyian itu mulai menyelinap. Dan benar saja, ia pergi meninggalkanku begitu
saja. Bulunya sedikit berhamburan ketika meninggalkan rumahku. Kesendirian yang
menghantui kini kembali menampakkan dirinya di relung hatiku. Kicauan burung itu
kurindukan sepanjang hayat. Disaat yang sama aku selalu berpikir bagaimana bila
ada seseorang dari pasar yang memburunya, dan dijual untuk harga yang tinggi
untuk kepentingan pribadinya. Namun aku tidak menyesali berapa banyak duit yang
harusnya kudapatkan untuk menjual burung itu, karena ia telah membayar hutang
budi dengan mengisi hidupku yang menyedihkan ini.
Semoga burung itu baik baik saja sekarang. Dan apabila ia
telah menemukan tuan yang baru, demi apapun juga, akan ku bunuh apabila berani
menyakiti burung itu.
Dan kini sepi dan perih kutanggung karena yang datang pergi
menghilang. Tetapi aku belajar satu hal, ia datang sebagai tamu seharusnya
kuberikan kopi dan bukan cinta.
Jeovan Setyawan, 2020
Move on :)
BalasHapus